Pekerja Keras itu adalah Ibuku

Wanita parubaya yang kini telah berusia 56 tahun itu, tersenyum ceria padaku. Sembari berkata “Mamak budhal ka” . Matanya yang sipit ditutupi oleh kelopak matanya akan semakin terlihat sipit dikala tersenyum. Sandal jepit berwarna merah mengantarkan langkahnya yang pelan namun penuh semangat, senada dengan baju merah berkerah yang ia kenakan.”Ngik”  bunyi motor hitam tua yang di kendarai mengantarkannya menuju pabrik tempat ia bekerja.

Ibuku bekerja di sebuah pabrik rokok, Ia berangkat bekerja melalui jalan raya yang terdengar bising oleh suara lalu-lalang pengendara.  Pabrik rokok itu adalah sebuah bangunan berwarna putih dengan aksen cat berwarna biru muda, di depan Gedung terlihat pos satpam dan pak satpam yang berjaga di sana. Pabrik itu nampak berada pada sisi selatan jalan raya. Memasuki kawasan pabrik, aroma tembakau akan mulai terasa menusuk hidung. Namun karena sudah terbiasa ibuku nampak tak gusar karenanya.

Bersama kurang lebih 100 pekerja lain ibuku megayunkan tangan dan menyusun tembakau-tembakau itu dalam sebuah cetakan kecil yang disebut “gilingan” hingga jadilah satu demi satu butir rokok yang akan dipotong pada bagian ujungnya agar menjadi rapi. Tumpukan rokok itu kemudian akan diperiksa satu persatu. Wanita yang jauh lebih muda dari ibuku, berbadan agak gemuk, rambutnya hitam ikal, ia akan melaksanakan tugasnya memeriksa satu persatu rokok yang telah dibuat dan dengan demikian kita mengenalnya dengan gelar “mandor”.

Memasuki waktu siang hari, hawa panas yang dibawa oleh matahari juga sampai pada pabrik tersebut. Kipas darurat yang terbuat dari kertas tebal seperti sampul buku diayunkannya untuk menghilangkan kegerahan. Meski upah yang didapat tidaklah banyak, namun ibu sudah bertahun-tahun bekerja di sini. Terhitung lebih dari 30 tahun. Hal itu dilakukannya untuk dapat membantu memenuhi kebutuhan sehari hari.

Jadwal masuk pabrik rokok tersebut juga tidak selalu bisa di andalkan, bisajadi dalam seminggu ibuku hanya masuk selama empat kali. Namun begitu ibuku bukanlah sosok wanita yang akan membiarkan dirinya berdiam diri saja. Dengan beberapa waktu yang ada ia gunakan untuk membuat kerajinan “tambang” yang ibu beli di tetangga sebelah rumah. Berbahan dasar kulit pohon bagian dalam, kulit pohon yang berwarna putih tersebut menghasilkan bau yang kurang sedap, mungkin saja hal itu diakibatkan karena sebelum dikeringkan, kulitnya di rendam di sungai terlebih dahulu. Lagi-lagi ayunan tangan yang dimainkan, dengan benda yang terbuat dari bambu yang disilangkan bernama “eklek”, ibu me-milin kulit pohon menjadi sebuah tambang, yang kemudian mengalami 3 kali proses agar menjadi tambang sempurna.

Di hari minggu, ibu biasanya memiliki jadwal yang padat namun bukan untuk bekerja, namun untuk mengaji. Pagi hari ia mengayun sepeda birunya menuju khataman khotmil Qur’an yang diadakan selapan sekali. Menjelang sore sekitar pukul dua ia kemudian melanjutkan kegiatannya dengan berangkat ke jamaah Yasin Tahlil milik jamaah rukun tetangga (RW) di lingkunganku, kalau yang rutinan ini terjadi tiap minggu. Malam hari sekitar pukul setengan tujuh, setiap dua minggu sekali, dengan mengenakan pakaian nuansa putih dari atas sampai bawah, ibu berangkat mengikuti Jamaah Manaqiban, meski terkadang ia mengeluh lelah. Namun ia mengaku sayang atau eman untuk tidak hadir dalam majelis tersebut.

Ibuku adalah sosok yang semangat dalam menjalani hidupnya, hal ini terlihat dari bagaimana ia menjalani hidup dengan tanpa diam atau berkegiatan, Sebagai anak muda aku sampai malu pada diriku sendiri jika malas-malasan. Meski sering mengeluh, namun ia kemudian jadi sosok yang cepat bangkit. Hal tersebut ia lakukan demi keluarga. Dan sudah menjadi pembawaannya yang pekerja keras sejak muda. Saat muda ia pernah bercerita, berbagai pekerjaan telah ia jalani. Seperti bekerja di produsen kerupuk, bekerja sebagai asisten rumah tangga di rumah seorang china di Surabaya, namun karena merasa tidak diperlakukan dengan baik, akhirnya ibu kabur dan kemudian kembali ke kampung halaman. Semasa muda ia juga pernah dengan sabar berbagi ilmu kepada anak-anak kecil yang bersekolah di Madrasah.

Suara menggertak itu kadang aku dengar dari ibu jika aku bermalas-malasan dan tak kunjung mengerjakan pekerjaan rumah, aku yang dasarnya anak pemalas susah untuk di bilangi, aku malu pada diriku. Dibalik itu ibu menunjukkan sayangnya padaku perkataanya selalu dengan nada yang rendah, kecuali jika aku yang salah. Ibu selalu mengusahakan apapun yang aku butuhkan, meski aku tak memintanya.

Ibu seringkali mengeluh padaku jika pada badanyya terasa pegal, kemudian dengan tangan mungilku aku pijati ibu sebisaku “penak ka, kamu seperti bapakkmu berbakat jadi tukang pijat” ungkap ibu yang sempat membuatku tertawa dan tersenyum haru. Lewat sikapnya tersebut aku belajar untuk tidak mudah menyerah, tetap berusaha melakukan yang terbaik, ibu adalah pekerja keras. Aku tak dapat mengungkapkan banyak hal tentangmu bu, namun yang jelas kasihmu melimpah. Terimakasih, maafkan anakmu yang belum bisa membahagiakanmu ini, Aku sayang ibu.

Tulungagung, 16 ‎April ‎2020

Tulisan ini dulu kubuat untuk memenuhi ujian mata kuliah Dasar Jurnalistik dari Bung Amrullah Ali Moebin, M.I Kom .

Terima Kasih.

Tinggalkan komentar